Sabtu, 03 Desember 2022

Formula Bertemu Kematian

Pernah denger ungkapan Arab "matinya seseorang itu sesuai dengan cara hidupnya (kebiasaannya)"? Pasti gak asing kan. Ungkapan ini bukan sekedar kata-kata doang, melainkan bisa dibuktikan secara matematis loh. Bahwa YA, semakin banyak waktu yang kita habiskan pada aktivitas tertentu maka semakin besar pula peluang kita mati dalam keadaan melakukan aktivitas tersebut.

Sebagai contoh: Jika kita mengalokasikan waktu kita dua jam setiap harinya untuk bermain game misalnya, berapa peluang kita mati dalam keadaan bermain game ? 

Nah, dalam satu hari ada 24 jam yang mana kita bisa saja mati diantara rentang waktu itu. Jadi, peluang kita mati saat main game adalah 2/24 × 100% = 8,3%


Makin sering kita melakukan aktivitas tersebut maka makin gede juga dong peluangnya. Jadi make sense kalo dikata matinya seseorang sesuai kebiasaannya. Sebab yang namanya kebiasaan kan hal yang paling sering kita lakukan.


Kalo sudah terbukti seperti ini, aku jadi lebih senang menyebutnya Formula Bertemu Kematian dibandingkan menyebutnya sekedar ungkapan. Kalo kita cukup wise, formula ini bisa jadi senjata kita menaklukkan kehidupan loh sebab kehidupan pada dasarnya adalah perjalanan menuju kematian. Siapa disini yang pengen mati dalam keadaan Husnul khatimah? If you are one of them, tentu formula ini cukup membantu kamu memahami how to get 'akhir yang baik' itu. 


"Durasi sebuah/sekelompok aktivitas dibagi 24 (dalam jam) dikali 100%"


Jika kamu pengen 'akhir yang baik', maka kamu perlu meningkatkan peluang aktivitas baik (istilah kerennya Ihsanul amal). Caranya? Makin banyak kamu mengisi waktumu dengan Ihsanul amal maka makin gede juga peluang kamu mati dalam melakukan aktivitas itu. Nah, makanya bagi seorang muslim yang mendamba Husnul khatimah, prioritas amal itu penting. Gak ujug-ujug alesan 'yang penting kan gak haram' dan terus aja tenggelam dalam aktivitas yang mubah mubah doang. Gak haram sih, tapi masa iya hidup kita yang singkat di dunia ini, satu-satunya tempat kita punya kesempatan beramal, malah kita sia-siakan. Coba deh simulasikan formula bertemu kematian jika kita hanya mencukupkan pada amalan yang minimalis (asal sholat wajib udah). 


Contoh : durasi satu kali sholat wajib sekitar 3-7 menit. Misal kita ambil yang paling maksimal 7 menit lalu kita kali dengan 5 waktu sholat, total durasi seluruh sholat wajib kita sehari hanya berkisar 35 menit.

35 menit = 35/60 = 0,58 jam

0,58/24 ×100% = 2,42%

Jadi jika amalannya minimalis gini, peluang mati dengan akhir ahsan pun jadi minim gini. 


Coba deh bayangkan kalo aktivitas sehari-hari kita malah banyakan mubah-mubah doang, apalagi makruh, maka peluang kita mati dalam keadaan aktivitas tersebut ya juga gede. Makin banyak waktu yang digunakan buat nge game, nge drakor, nge scroll sosmed, nonton aiueo, dengerin musik xyz, baca roman picisan, apalagi ngelamun gak jelas atau ngehalu jadi selir onlen etc, maka makin besar juga kita mati dalam keadaan itu, maksudnya mati dalam keadaan melakukan hal-hal yang unfaedah. Boro-boro husnul khatimah, bisa jadi kita saat itu sedang melalaikan banyak sekali kewajiban. Yang ada bisa bisa malah su'ul khotimah ya gak sih.


Kita sibuk ngehibur diri dibalik kata "me time", "healing", atau seabrek istilah masa kini yang intinya nge hedon, seneng-seneng doang, dan cuma mau mikirin diri sendiri. Dipikirnya yang penting mah gue sholat, menutup aurat, gak pacaran, udah jadi anak baik. Bodo amat sama kondisi anak-anak muslim Gaza yang dibombardir sama Israel. Bodo amat sama perang pemikiran yang bikin pikiran anak-anak muda jadi makin gesrek. Bodo amat sama mereka yang lgbt, feminist, childfree, yang penting gue mah nggak. Bodo amat sama rakyat yang makin miskin karena daya beli makin lemah, toh selama bukan tetangga gue bukan urusan gue juga dong. Bodo amat, bodo amat, dan seabrek bodo amat. Jangankan pengen berada di barisan dakwah berjuang demi perubahan menuju islam, ngeh kalo dakwah ini wajib aja mungkin nggak. Gimana mau ngeh kalo diajak ngaji dan belajar Islam malah nggak mau. Takut radikal katanya. Jadi Islam yang biasa aja gak usah fanatik katanya. Dan berbagai alesan lainnya demi mangkir dari kewajibannya.


Jika hidup kita dipenuhi bodo amat, peluang kita mati dalam kondisi bodo amat pun makin gede. Kalo seperti itu apa iya mau bertemu Allah dalam keadaan yang bodo amat juga sama kamu. Huhu, jangan sampai ya.


Maka yuk temen-temen, sebagai muslim, jangan melulu berlindung dibalik alesan "yang penting kan gak haram!" demi bermalas-malasan. Nge game gak pernah ketinggalan setiap hari. Eh giliran ngaji kadang-kadang aja kalo lagi pengen. Sempet-sempetnya ngafalin lagu, giliran hafalan Al-Qur'an malah gak pernah nambah. Ingat selalu prioritas amal kita. Lakukan yang wajib. Perbanyak yang Sunnah. Kurangi yang mubah. Hindari yang makruh. Say NO to haram ! []

Rabu, 23 November 2022

Review Animal Farm : Hakikat makhluk dan kehidupan



Finally, I've just finished reading this novel, novel legendarisnya George Orwell, yang bikin doi terkenal di seantero dunia. Animal Farm yup sesuai judulnya berkisah tentang sebuah peternakan di sebuah desa. Sebenarnya ini adalah novel satire yang dikemas dalam bentuk fabel. Respon kekecewaan sang penulis atas revolusi komunisme sosialisme yang berakhir menjadi totalitarianisme. Kalo kita gak tahu sejarahnya, kemungkinan kita akan berpikir novel ini sedang menyinggung sistem kapitalisme. But big NO. 

Sinopsis Animal Farm

Warning spoiler ! Nah, novel ini berkisah tentang hewan-hewan di sebuah peternakan yang dijalankan oleh Tuan Jones. Namanya peternakan Manor. Novel ini dibuka dengan pidato dari seekor babi Tua yang disebut Mayor yang disampaikan didepan khalayak binatang. Inti pidato itu adalah tentang hakikat kehidupan binatang dan mimpi sang mayor tentang kebebasan para binatang suatu saat nanti. 


“Hidup kita ini sengsara, penuh kerja keras, dan pendek. Ketika lahir kita diberi banyak makanan, lalu dipaksa berkerja hingga nafas terakhir, setelah kegunaan kita berakhir, kita pun disembelih dengan cara yang keji. Tak seorang binatang pun di Inggris ini yang bebas. Hidup seekor binatang supersengsara dan penuh perbudakan : Ini adalah kenyataan yang sebenar-benarnya”, jelas Mayor. 


Lebih lanjut Mayor menjelaskan bahwa masalahnya bukan sekedar karena ini bagian dari tatanan alam, bukan pula karena tanah air yang gersang, tetapi karena semua hasil produksi kerja hewan dirampok bangsa manusia. Maka kesimpulannya “Hapuskan Manusia dari adegan itu, dan akar sumber persoalan kelaparan dan kerja lembur dihapuskan selama-lamanya.”


Pidato itu begitu menghujam di hati para binatang. Bukan hanya karena itu pidato terakhirnya sebelum maut menjemput sang Mayor, tetapi juga cita-cita kebebasan yang menyilaukan hingga menjadi cita-cita semua binatang. Pidato itu menginspirasi pemberontakan para hewan kelak atas tirani manusia.


Pasca kematian si Mayor Tua, kepemimpinan atas binatang di peternakan Manor secara alamiah diambil alih oleh para babi. Dua yang paling unggul adalah Snowball dan Napoleon. Keduanya walau sama-sama cerdas, tapi pendapatnya selalu berlawanan. Kedua babi muda inilah yang mengelaborasikan pemikiran si Tua dalam aturan yang disebut binatangisme dan menginisiasi revolusi. Mereka memimpin pemberontakan kepada Tuan Jones dan pekerja-pekerjanya, hingga manusia-manusia itu terusir. Lalu peternakan pun sepenuhnya diambil alih dan dikelola oleh para binatang. Mereka membuat 7 aturan binatangisme, ditulis dan dinyanyikan dalam sebuah lagu. Nama peternakan Manor diubah menjadi peternakan Binatang. Bendera hijau yang digambari sebuah kuku binatang dan sebuah tanduk dengan cat putih dikibarkan ditiang bendera, sebagai lambang peternakan Binatang.


Pasca beralihnya kepemilikan peternakan Manor ke tangan para binatang, mereka amat senang, mereka bekerja keras bersama menjalankan peternakan. Babi-babi bekerja dengan pikiran. Mereka mengarahkan dan mengawasi sebab kodratnya memang mereka cerdas. Yang lain menggunakan fisik seperti para kuda walau mereka tidak secerdas para babi. 


Panen raya melimpah dan sukses besar. Mereka amat senang bukan sekedar karena suksesnya panen tetapi karena sekarang seluruh hasil panen adalah milik mereka sendiri, oleh, dari, dan untuk mereka sendiri. Tak ada majikan yang akan mengambil seluruh panen lalu menjatah bagian masing-masing hewan secukupnya bahkan kadang kurang. Dengan tiadanya manusia, ada lebih banyak pakan dan ada lebih banyak waktu senggang. Walau banyak kesulitan dalam menjalankan peternakan, tetapi mereka senang, sebab tak ada lagi tuan dan semua binatang setara.


Namun kesetaraan ini lambat laun terkikis sedikit demi sedikit. Dari yang sekedar soalan hak istimewa susu dan apel untuk para babi, hak tinggal para babi di rumah peternakan, lalu semakin menjadi-jadi. Dari yang awalnya setara, hak-hak istimewa yang diberikan kepada para babi dengan dalih mereka lebih cerdas dan menjalankan tugas monitoring yang lebih sulit dibanding yang lainnya, akhirnya membawa level para babi ke posisi lebih kuat dan berkuasa dan akhirnya menghegemoni seluruh peternakan. Para babi ini sedikit demi sedikit mengubah aturan binatangisme yang telah mereka sepakati bersama diawal revolusi hingga sama sekali berbeda dari aslinya.


Bagaimanapun diantara para babi ini, mereka saling berkompetisi untuk mempengaruhi binatang lainnya. Pada akhirnya Snowball terusir oleh makar Napoleon. Napoleon lalu mengambil tampuk kekuasaan sebagai satu-satunya pemimpin lalu melakukan perubahan yang cukup radikal. Rapat ditiadakan dan perintahnya adalah hukum mutlak. Napoleon bahkan menggunakan kekerasan kepada binatang lainnya bagi yang tidak sejalan dengannya atau mengkritik kebijakannya. Dibawah kepemimpinannya, ia mendidik para babi dan menempatkannya sebagai kasta tertinggi diantara para binatang. Napoleon juga mengubah kembali nama peternakan binatang menjadi peternakan Manor.


Apa yang paling mengejutkan diakhir adalah ketika para babi bertindak-tanduk layaknya manusia. Berdiri dengan dua kaki, berpakaian, bertopi, dan bersulang. Mereka bersekutu dengan manusia demi keuntungan bisnis dan memanfaatkan rekan-rekan binatangnya yang dianggap binatang kelas rendah. Pada akhirnya para babi itu tidak berbeda dengan manusia yang sebelumnya mengeksploitasi para binatang itu. Babi sebagai hewan yang lebih cerdas dari yang lainnya, dengan kecerdasannya, memanipulasi dan memberikan tipu daya kepada para hewan demi mengeksploitasi para binatang itu. Ransum yang rendah dan jam kerja yang panjang, pada akhirnya keadaan jauh lebih buruk bahkan sebelum pemberontakan itu. Para babi yang tadinya adalah rekan seperjuangan para binatang di peternakan itu berubah menjadi diktator.


Relasi dengan Sejarah


Novel Animal Farm ini merupakan alegori politik kekuasaan tentang revolusi Rusia. Penggambarannya yang apik lewat penokohan para binatang dengan karakternya yang sebenarnya masing-masing mewakili tokoh nyata. Tak heran kalo dimasa Animal Farm ini diterbitkan cukup banyak yang merasa khawatir karena dianggap berani.


Dalam novel ini, si Mayor Tua adalah representasi dari Karl Marx, seorang perintis paham komunisme yang wafat sebelum melihat visi misinya terwujud. Pahamnya menginspirasi rakyat rusia yang diperankan oleh para binatang hingga menjadi opini umum yang memantik revolusi di peternakan Manor (representasi Kaisar Rusia) yang dikelola oleh pak Jones (mewakili Tsar Nikolas II). Revolusi itu dalam kehidupan nyata dikenal sebagai Revolusi Bolshevik. Rakyat Rusia dibawah pengaruh paham komunisme memberontak terhadap Tsar Nikolas II dan mengusirnya. Kerajaan diambil alih rakyat Rusia dan diubah namanya menjadi Uni Soviet dan diubah pula bentuknya. Mereka mengelaborasikan paham komunisme dan sosialisme dalam prinsip-prinsip pengelolaan negara. Dua tokoh komunis yang paling berpengaruh kala itu adalah Trotsky dan Stalin yang diperankan oleh Snowball dan Napoleon dalam Animal Farm.

Dalam usahanya membangun negara pasca revolusi, mereka terinspirasi dari paham Karl Marx (si Mayor Tua) ketika berusaha menciptakan negara yang adil dan setara bagi semua orang. Mereka bermusyawarah untuk menetapkan definisi keadilan, kesetaraan, kebaikan, kebenaran, dan kesejahteraan bagi semua orang. Semuanya berjalan dengan baik pada mulanya. Namun seiring berjalannya waktu, tabiat manusia yang punya akal dan juga nafsu, mengantarkan mereka pada perebutan kekuasaan hingga totalitarianisme. Di Animal Farm, dua babi cerdas, Snowball dan Napoleon saling berebut pengaruh. Ketika Napoleon menang dan menjadi pemimpin tunggal, hukum pun berubah sekehendaknya, lalu jadilah ia seorang diktator yang mengerikan sebagaimana Stalin dalam versi nyatanya.


Apa yang bisa kita pelajari ?


Walau novel ini adalah penggambaran dari revolusi Rusia, tapi jujur saja saya menilai konflik ini adalah konflik khas manusia yang bisa terulang kapan saja, bahkan mungkin hari ini. Jika kita bertanya mengapa revolusi yang memperjuangkan kesetaraan dan kesamarataan itu berakhir menjadi diktatorisme? Ikuti terus tulisan ini, kita akan menjawabnya bersama-sama.


George Orwell mengungkapkan di awal novel ini secara tersurat tentang sifat/hakikat kehidupan yang sengsara dan penuh kerja keras. Kemudian secara tersirat kisah dalam novel ini menggambarkan potensi binatang (alegori dari manusia). Mereka memiliki akal dan juga nafsu. Diantara manusia-manusia itu, ada yang lebih cerdas dibanding yang lainnya. Ada yang lebih kuat secara fisik dibanding yang lainnya. Dan seterusnya. Maka dengan potensinya itu, alamiahnya, manusia akan cenderung menindas yang lainnya. Yang cerdas akan memberikan tipu muslihatnya kepada yang bodoh. Yang kuat akan menindas yang lemah. Ketika hakikat kehidupan yang sengsara dan hakikat manusia yang tamak bertemu, maka aturan apapun yang dibuat bersumber dari akal manusia semata, secerdas apapun manusia-manusia itu, pada akhirnya hasilnya adalah penindasan sebagian manusia atas sebagian lainnya. Itu adalah sesuatu yang alamiah. Maka jangan heran jika kapitalisme menghasilkan kesenjangan ekonomi si kaya dan si miskin dan komunisme menghasilkan rezim yang totaliter dan diktator.


Novel ini seharusnya menjadi bahan perenungan tentang akar masalah kehidupan. Sepertinya George Orwell pun tak tahu akar masalahnya dimana. Ia hanya bisa menuangkan kekecewaannya ke dalam novel satirenya ini.


Dalam beberapa review yang kubaca, kebanyakan hanya menilai pelajaran novel ini dari sisi kerjasama, berlaku adil dan setara, tanggung jawab, ketamakan, dan eksploitasi. Tetapi jika kita memikirkan lebih dalam, benarkah itu semua adalah akar masalahnya? Apakah akar masalahnya karena manusia gagal bekerja sama, tidak adil, tidak bertanggung jawab, tamak, dan eksploitatif? Bukan, itu semua bukan akar masalahnya. Oke, mari kita runut masalahnya.


Pertama, mereka gagal memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk yang lemah dan terbatas. Potensi manusia yang tidak hanya punya akal tapi juga nafsu sudah cukup membuktikan bahwa selamanya mereka tidak akan bisa menciptakan hukum yang adil diantara mereka dengan bermodalkan akal mereka semata.


Kedua, jika mereka gagal memahami dirinya lemah dan terbatas, mana mungkin ia akan memahami akan adanya dzat diluar dia. Mana mungkin ia akan memahami keberadaan pencipta dan pengatur. Apalagi memahami bahwa manusia yang lemah dan terbatas ini membutuhkan petunjuk dari yang menciptakan tentang bagaimana seharusnya ia mengelola kehidupannya. Bukankah yang paling memahami ciptaan adalah penciptanya?


Ketiga, dua kegagalan tadi, gagal memahami dirinya dan penciptanya, membuat manusia merumuskan aturannya sendiri, mendefinisikan keadilan dan kebaikan versi mereka sendiri.


Kegagalan para binatang di peternakan Manor menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi semuanya adalah karena mereka tak mengenal aturan penciptanya dan berusaha menciptakan kehidupan yang tenteram dengan akal mereka semata. Padahal mereka sendiri makhluk lemah. Lantas apa yang akan dihasilkan oleh akal lemah mereka selain aturan lemah pula? Bukannya kesejahteraan dan keadilan, tapi yang terjadi adalah penindasan sesama mereka. Seperti itulah kehidupan tanpa aturan pencipta.


Rekomendasi


Novel ini bagus banget menurut aku untuk dijadikan bahan pelajaran tentang hakikat manusia dan kehidupannya. Juga dijadikan pengantar untuk mempelajari sejarah, bukan hanya sejarah komunisme tapi juga kapitalisme. Karena keduanya sama saja, merupakan produk buatan manusia, tujuannya kesejahteraan tapi hasilnya justru kesengsaraan. []

Sabtu, 01 Oktober 2022

Ibu Itu Siapa

Beberapa waktu lalu mendengar curhatan ibu-ibu para hamlud dakwah  tentang anak-anak mereka yang beranjak dewasa namun beberapa justru semakin antipati dengan dakwah. Jujur, aku sendiri jadi insecure. Memandangi bayi disampingku yang kini berusia 1 tahun 5 bulan sambil membayang-bayangkan bagaimana ia kelak, 10 hingga 20 tahun yang akan datang. Aku berpikir akankah aku mampu menjalani amanah ini, sebagai ummu dan sebagai madrasatul ula?

Seringkali aku mengingatkan diriku lagi dan lagi, 'aku adalah ummu sebelum yang lainnya', 'aku adalah madrasatul ula bagi anak-anakku sebelum menjadi madrasah bagi orang lain'. Sesuatu yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban kepadaku adalah anak-anakku.

Suatu ketika aku berbincang-bincang dengan sang partner hidup, 'mengapa ini terjadi?' Beliau menjawab, 'Seringkali para keluarga hamlud dakwah fokus meriayah keluar tapi lupa meriayah keluarganya". Aku pikir mungkin ada benarnya. Padahal Allah SWR memerintahkan kita untuk menjaga keluarga kita dari api neraka.

Kita sibuk mempersiapkan diri sebaik mungkin saat akan bertemu mad'u-mad'u, belajar, membuka kitab, menuliskan outline materi dan sebagainya, tapi apakah kita juga mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk bertemu dengan anak kita esok hari ketika mereka terbangun? Besok materi apa yang akan aku ajarkan kepada ana? Hal apa yang harus aku tanamkan kepada anak? Kegiatan apa yang akan kami lakukan dst?

para hamlud dakwah memikirkan rencana dakwah kedepannya dengan baik tapi apakah juga memikirkan rencana tarbiyah ankanya dengan baik. kita bicara soa evaluasi dakwah, menyeriusinya dengan rapat tahunan, bulanan, hingga pekanan, tapi apakah kita pernah mengevaluasi pendidikan  anak kita di rumah maupun diluar rumah, apakah para orangtua mengadakan rapat membahas ana-anak mereka membuat rencana dan target tahunan, bulanan, mingguan, hingga harian?

Seorang ibu bukanlah seseorang yang sekadar mengurus kebutuhan anaknya, seperti menyusui, menyiapkan makanan, menjaga kebersihan rumah, menjaga kesehatan anggota keluarga, memasukkan anak-anak ke sekolah. Bukan, bukan sekedar itu. Mungkin kita perlu merenungi kembali diri kita para ibu bahwa kita adalah madrasatul ula, sekolah utama dan pertama bagi anak. Seseorang yang memberikan pengajaran sejak anak dalam kandungan, lahir, hingga beranjak dewasa. Seseorang yang membangun pondasi dalam diri anak. Seseorang yang perannya amat vital bagi seorang anak. Maka menyeriusi peran ini adalah suatu kewajiban.

jangan sampai kita  sibuk menjalani aktivitas, iya bersama dengan anak sih, tapi hanya raganya. Mereka ikut dalam aktivitas kita (termasuk dakwah) tapi ki lupa berinteraksi dengan mereka. Kita memandikan mereka tapi kita lupa mengenalkan Allah yang menurunkan rahmatnya berupa air, kita memberi mereka makan tapi kita lupa mengenalkan Allah ar-Razaaq sebagai yang Maha Pemberi Rezeki dalam aktivitas makan mereka, kita menghadapi anak yang sakit/terluka tapi kita lupa mengajarkannya untuk hanya memohon kesembuhan kepada-Nya, anak kita sedang menghadapi kesulitan tapi kita lupa mengajarkan bahwa Alah satu-satunya tempat bergantung, anak kita sedih tapi kita lupa mengajarkan bahwa sedih maupun senangnya seorang mukmin itu adalah rahimnya Allah, tanda sayangnya Allah pada hamba-Nya, yang dengannya Allah beri kita peluang beramal sholih dengan sabar dan syukur. Jangan sampai kita lupa bahwa anak kita berrhk atas ibunya sebagai madrasatul ula bagi mereka bukan sekedar pemenuh kebutuhan jasmaninya. ya Allah, bantu kami untuk terus belajar dan terus mengevaluasi. Ini jadi PR besar bagi kami orangtua untuk terus berbenah...

kamis, 11 Agustus 2022 pukul 22:40 WIB

yang sedang bercermin


Menyikapi Masa Lalu (Sejarah)

Dulu saat pertama kali tahu khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang Allah tuntunkan untuk manusia dan telah diterapkan selama 14 abad lamanya, ekspektasiku adalah khilafah pasti sistem yang sempurna dan selama 14 abad pasti semuanya berjalan damai dan tenteram. Rasanya menggebu-gebu ingin khilafah seperti dulu

Saat aku membaca buku-buku sejarah kekhilafahan dan menemukan soal perebutan kekuasaan yang terjadi di kalangan keluarga khalifah atau dengan bani lainnya hingga  berdarah-darah, aku lalu berpikir 'apakah khilafah itu seperti ini, berdarah-darah?' ataukah 'ah jangan-jangan penulis sejarah ini berbohong dan sejarah dikebiri', dan berbagai perasaan denial. Rasa-rasanya inginnya sejarah kekhilafahan itu perfect tanpa cela.

Hingga sesuatu menyadarkanku. Hey, Khilafah itu sebagaimana hukum syariat yang lainnya loh, yang melaksanakannya ya manusia. Namanya dilakukan oleh manusia, maka ada kanya bener ada kalanya salah. Sebagaimana sholat yang Allah wajibkan, ada kalanya manusia bener melaksanakannya, bisa jadi juga gak bener.

Mendirikan sholat lima waktu gak berubah hukumnya hanya karena ada yang salah melaksanakan sholat. Sebagaimana menerapkan sistem pemerintahan yang Allah wajibkan gak berubah hukumnya  hanya karena dalam pelaksanaannya ada yang gak bener.

Sebagaimana kita membangun keluarga, tentu harapannya sakinah mawaddah dan rohmah dong, masa iya tujuannya bangun keluarga yang amburadul. Pun dengan membangun negara, harapannya untuk yang baik-baik, gak ada ceritanya bangun negara biar bisa menindas.

Dalam keluarga ada masalah, dalam negara juga ada. Poinnya bukan karena 'ada masalah' maka 'jangan lakukan'.

Tapi sebagai seorang muslim, bagaimana dalam melakukan sesuatu panduannya adalah Islam. Membangun keluarga panduannya islam, membangun negara juga panduannya islam.

Melihat sejarah kekhilafahan itu hanya sebatas 'oh itu soal perebutan kekuasaan yang berdarah-darah' lalu menolak wajibnya Khilafah, tak ubahnya seperti melihat dengan kaca mata kuda lalu mengambil kesimpulan begitu saja. Sejarah bukan untuk menghukumi sesuatu dan harusnya kita tahu itu. Hukum sesuatu didasarkan pada nash-nash syara bukan dari sejarah.

Memahami arti sejarah atau masa lalu itu penting. Agaknya menyakitkan memang harus menjumpai ketidaksesuaian apa yang kita inginkan dengan sejarah masa lalu. Namun dalam melihat masa lalu atau sejarah, ini bukan soal apa yang kita inginkan atau ekspektasikan, tapi soal hikmah apa yang bisa kita ambil dari masa lalu.

Bukankah dalam menjalani hari-hari kita pun demikian. Adakalanya sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Adakalanya perjalanan kita menemui jalan yang salah bahkan buntu. Tapi tak perlu menyalahkan perjalanan itu sendiri, sebab yang perlu kita lakukan adalah belajar dari kesalahan sebelumnya.

Jangan katakan 'jika tak mau tersesat, jangan melakukan perjalanan'. Lantas jika tersesat kenapa? Haruskah menyalahkan diri sebab membuat keputusan untuk melakukan perjalanan. Bukankah salah satu kebijaksanaan adalah melangkah kembali, lanjutkan perjalanan, koreksi kesalahan, temukan jalan yang benar itu. Tak perlu malu dengan sejarah kelam kita, tapi perbaikilah apa yang rusak. Tak perlu berpaling dari sejarah kelam kita, hadapi dan ambil hikmahnya.

Ada hikmah besar ketika sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang Allah janjikan. Bukan salah syariat Allah, tapi salah manusia yang kerap kali menyimpang dari tuntunan Allah. Jika sholat tak mampu menghindarkan kita dari perbuatan yang mungkar, bukan salah sholatnya. Coba koreksi apakah sholat kita telah sesuai dengan yang Allah perintahkan. Begitupun dengan syariat lainnya.

Allah gak pernah salah dalam memberikan syariat tapi justru manusi lah yang kerap kali lalai dari menjalankannya.

Sejarah kelam yang pernah ada dalam kekhilafahan bukan pembenaran untuk tidak lagi berhukum pada hukum Allah. Sebab no kelam itu tidaklah muncul kecuali manusia telah lalai dari perintah Allah, sedikit atau banyak. Ada hikmah yang besar disitu yang harusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk sekarang dan masa mendatang. Bahwa ketika manusia berpaling sedikit saja dari apa yang Allah perintahkan maka manusia akan menuai akibatnya. 

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.." (QS Ruum : 41)

Dibalik masa lalu dan sejarah kelam ada hikmah dan ibrah yang bisa diambil bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.

Apa yang terjadi (akibat yang kita tuai karena perbuatan kita) adalah bagian dari kasih sayang Allah. Tidak lain dan tidak bukan agar kita intropeksi/muhasabah dan kembali ke jalan yang benar.

لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ruum :41)

Jumat, 30 September 2022

Mendidik Anak Perempuan Part 2

Suatu ketika do'i bertanya pendapatku bagaimana membesarkan anak perempuan? Aku tahu ini bukan hal mudah. Apalagi di sistem sekuler hari ini. Perasaan cinta dan naluri seksual sengaja dieksploitasi  terus menerus demi keuntungan materi. Idola-idola baru terus diciptakan agar pundi-pundi uang terus terisi. Korbannya siapa lagi jika bukan para generasi muda, generasi yang seharusnya melanjutkan peradaban.

Aku ingin menjawab pertanyaan tadi tidak dengan teori-teori pendidikan anak ataupun parenting. Tetapi tentang apa yang aku rasakan sebagai anak perempuan. Laki-laki berbeda dengan perempuan maka cara memperlakukannya pun tentu berbeda. Perempuan itu dikenal dengan kepekaan perasaannya. Maka kuncinya sebenarnya ada disitu.

Aku mungkin berasal dari broken-home family tapi aku menghargai segala usaha orangtuaku membesarkanku, terutama ayahku. Bahkan dibalik drama keluarga yang berlarut-larut kala itu, yang aku memberikan rasa sakit yang tidak sedikit tetapi beliau menjalankan perannya sebagai ayah dengan baik.

Menurutku, ini salah satu alasan mengapa aku tidak mudah mengalami masalah gharizatun nau (cinta) disaat anak gadis umumnya dengan mudahnya jatuh hati dan patah hati karena seorang lelaki. Sebab aku merasakan cinta ayah yang bahkan tidak bisa dibandingkan dengan gombalan maupun rayuan dari lelaki manapun. For me, he is my real love.

How?

Ayah adalah pendengar yang baik dan tempat curhat yang aman. Bagiku beliau sosok yang enak buat curhat. Tiap kali ada kesempatan aku dengan cerewetnya cerita apa yang aku alami seharian itu, hal yang aku suka, hal yang kubenci, hal yang bikin aku kesel, dan seterusnya. Aku masih ingat wajah menahan kantuknya karena aku terus-terusan bicara padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam.

Kami tidak selalu punya pendapat yang sama. Seringnya jalan pikiran kami berbeda. Tapi ayahku selalu menghargai jalan pikiranku dan pendapatku bahkan kepadaku yang masih kecil kala itu. Jika keinginanku tidak sejalan dengan apa yang beliau pikirkan baik, alih-alih memaksa atau memarahi, he changed my mind in a really nice way. Beliau menjelaskan dengan logis tanpa tendensi 'udah ikut kata orang tua aja, you are just a kid'. He is so wise.

 Dalam berbagai kesempatan, ayahku kerap memuji 'anakku yang cantik'. And you know, menurutku pujian ayah untuk anak perempuannya akan menjadikannya kuat menghadapi rayuan diluar sana. I feel this, ketika ada yang merayu diluar sana dalam hati kuberkata, 'haha, I know, my dad always says so'.

Ada banyak momen berkesan bersama beliau. Terutama ketika kami nge-date berdua di pinggir pantai sambil menikmati jagung bakar atau makan mie goreng Jakarta di kedai sederhana. Bercerita banyak hal. Tentang masa depan, tentang cita-cita, bahkan diskusi berbagai isu.

Kadang-kadang ayah mengajak masak bersama walau sebenarnya aku tidak menikmati kegiatan memasak aku tidak menikmati kegiatan memasak dan lebih sering menggerutu dan merengek buat beli aja, hihi.

Sebagai anak perempuan, momen-momen bersama ayah like a treasure. If you are a dad, please create your moment with her.

Another thing yang aku sukai sekali adalah ketika ayahku mengusap kepalaku. It feels so calming, menenangkan. And you know, mengusap kepala anak adalah salah satu sunnah Rasul. Do it to your kids and feel the wonder.

Semuanya tak bisa terangkum di post singkat ini. Ini hanya secuil how dad treats his daughter versiku. I love it dan cerita ini ke do'i. Berharap Birjees akan menjadi sahabat ayahnya.

Tulisan ini lebih terlihat seperti nostalgia, not tips basically. Poinnya soal membangun intimacy ayah dan anak perempuannya dan memenuhi tangki cinta mereka.

Ayah, jangan malu mengekspresikan cinta dan membangun intimacy dengan anak. Penuhi tangki cinta anak-anakmu agar mereka kuat menerjang badai kehidupan. karena Ayah, kamu adalah ayat Allah ar-Rahman ar-Rahim untuk anak-anakmu di bumi.

Mendidik Anak Perempuan Part 1

Perkataan seorang ulama Aljazair, Imam Abdul Hamid bin Badis, "Ketika kau mendidik anak laki-laki, maka kau sedang mendidik satu manusia. Namun ketika kau mendidik anak perempuan, sejatinya kau mendidik sebuah umat."

Kalau teringat perkataan ini membuat saya deg-degan. Bisa tidak ya aku mendidik anak-anakku dengan baik. Birjees berusia 10 bulan sekarang. Tak terasa sebentar lagi setahun, lalu dua tahun dan mungkin aku kaget kala tiba-tiba saja ia telah baligh. Tapi jangan sampai kekagetanku ini karena ketidaksiapanku.

Suatu ketika, ayahnya ngobrol soal masa depan Birjees. Soal bagaimana kami memilihkan jodoh yang baik untuknya dan bagaimana mendidiknya menjadi istri dari seseorang dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Meweklah aku. Masa baru brojol udah ngomongin sejauh itu. Huhu.

Tapi ya benar sih, Birjees gak selamanya jadi bayi lucu kayak sekarang. Ia akan tumbuh menjadi gadis dewasa kelak. Mendidik anak gak bisa sekedar 'let it flow'. Soalnya ini manusia loh. Gagal mendidik satu manusia, akibatnya bukan cuma dirinya tapi buat peradaban. Wabil khusus kalo ngomongin anak perempuan.

Dari rahim-rahimnya lah lahir penerus peradaban. Mereka adalah ibu generasi. begitupun sebaliknya. Jika para perempuan terdidik baik dengan visi-misi ukhrawi, maka ini menjadi modal besar bagi lahirnya generasi tangguh, generasi pemimpin, dan generasi khoiru ummah.

Hal ini ketika dunia berada dalam haegemoni kapitalisme, tugas mendidik anak perempuan menjadi semakin berat. Pandangan hidup sekuler menggerogoti para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Standar kesuksesan di masyarakat adalah soal capaian materi, nilai tinggi saat sekolah, dan dapat pekerjaan dengan gaji tinggi. Sering kita mendengar orangtua memotivasi anaknya, "ayo sekolah yang pinter, biar nanti bisa kuliah di Univ X, dapet pekerjaan yang baik, bla bla bla..."

Ditambah lagi gempuran pemikiran rusak yang berusaha ditanamkan ke keluarga-keluarga muslim. Feminisme, liberalisme, relativisme, dan segala isme-isme asing. Kemaren childfree hari ini spirit doll. Kemarin kampanye 'gak perlu punya anak', hari ini kampanye 'adopsi boneka jadi anak'. Naudzubillah...

Ya dunia hari ini semengerikan ini. Belum lagi kalo ngomongin lingkungan tempat hidup kita yang jauh dari rasa aman. Tingginya angka kriminalitas. Pembunuhan, pemerkosaan, pedofilia, penculikan anak dan sederet kasus yang selalu menghiasi  layar kaca berita kita. Sistem hukum dan peradilan yang jauh dari kata adil. Sistem ekonomi yang jauh panggang dari menyejahterakan kita.

Tantangan mendidik anak hari ini tidak mudah. Bagaimana membentengi anak dari gempuran pemikiran rusak, mendidiknya menjadi seseorang yang paham visi misi hidupnya di dunia. Dan bagi anak perempuan, bagaimana mendidiknya menjadi calon ibu generasi khoiru ummah. Semoga Allah memudahkan dan menunjuki kita ya ayah.

Allahumma faqqih haa fid diini wa 'allimhaat ta'wiilaa 

Mencari Tempat Tinggal Yang Aman

Kita selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Termasuk dalam urusan tempat tinggal. Kita ingin menyediakan tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk anak bertumbuh dan berkembang. namun di era saat ini tentu semuanya begitu berbeda.

Mungkin diantara kita mengira uang adalah masalahnya. Jika punya uang bisa membeli rumah di tempat yang bagus atau membangun rumah yang aman dan membuat lingkungan yang nyaman bagi anak. Tapi ternyata tidak.

Mungkin diantara kita mengira tetangga adalah kuncinya. Jika tetanggamu baik, anak-anakmu akan baik juga sebab berada di lingkungan para tetangga yang baik. Tapi ternyata itu tidak cukup.

Mungkin diantara kita mengira hidup di kota yang low crime ratenya akan menjaga keamanan anak-anak kita. Tapi ternyata New Zealand yang terkenal sebagai negara paling aman pun tak luput dari serangan didasarkan islamophobia.

Mungkin diantara kita mengira jika lingkungan luar tak aman maka yang terbaik adalah memasukkannya ke sekolah asrama atau ke pesantren. Hingga kemudian kasus-kasus elgibiti dan bullying disana menyadarkan kita. Anak-anak tak selamanya di sana dan ia pasti akan bersinggungan dengan dunia luar. Tak mungkin mengerangkengnya bukan.

Jika dulu, pembicaraan kita soal memilih lingkungan yang tepat untuk tinggal adalah soal kotanya, soal lingkungannya, soal tetangganya, soal keamanan rumahnya, maka sebenarnya di era borderless hari ini semuanya menjadi berbeda. Kita hidup tidak lagi dibatasi secara fisik. Batas-batas kota hingga negara tiada artinya lagi, apalagi sekadar batas lingkungan dan rumah. Penemuan internet mengubah segalanya.

Hari ini anak-anak kita dididik tidak sekedar di wilayah lingkungan rumah dan tetangga kita tapi telah melewati batas-batas fisik itu.

Aku tau ini mengkhawatirkan. Sebab aku pun sebagai orang tua khawatir akan masa depan anak-anak kelak. Aku bertanya-tanya bagaimana aku akan menjaga anak-anakku dari pengaruh-pengaruh buruk diluaran sana.

Sedangkan hari ini apapun bisa diakses bahkan dari bilik-bilik istirahat kita. Referensi-referensi buruk bersliweran berusaha menghantam kita dan anak-anak kita. Jelas ini meresahkan.

Aku tahu tidak mengenalkan internet juga bukan solusi sebab hari ini internet telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Apakah kita akan mengirim anak-anak kita ke hutan belantara yang tak ada akses internet? Tentu itu bukan solusi pula.

KITA HARUSNYA SADAR BAHWA DI ERA BORDERLESS GAK ADA LAGI ISTILAHNYA TEMPAT YANG AMAN. Maka mencukupkan diri dengan 'ah yang penting aku tinggalnya di lingkungan yang islami', 'ah yang penting anakku sudah masuk pesantren', 'ah yang penting keluargaku paham islam semua', dan 'yang penting'-'yang penting' lainnya. Lantas dengan dalih itu kita jadi gak mau turut berjuang, turut melakukan perubahan, merasa bahwa urusan kita hanya soal keluarga kita, maka sebenarnya kita telah gagal paham bawa anak-anak kita bukan hanya bagian dari keluarga, tapi bagian dari masyarakat.

Aku tahu ini sulit. Ikut berjuang sepertinya melelahkan. Jalannya panjang dan mungkin penuh resiko. Tapi bukankah tidak melakukan apa-apa akan membuat semuanya lebih buruk. Akan berapa generasi lagi semuanya begini?

Kemaksiatan diorganisir dengan rapi demi menormalisasinya hingga anak-anak kita menerimanya sebagai hal yang lumrah. Lalu apakah kebaikan harus kita lakukan sendiri-sendiri dalam keluarga kita? Kenapa kita tidak memperjuangkan kebaikan secara terorganisir pula alih-alih berjuang sendiri-sendiri?

Maka merapat dalam barisan/jama'ah/kelompok dakwah adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan.

Jika tidak maka seperti kata Sayyidina Ali ra "kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak teroganisir".